Thumb
  • Telepon: 0852-6220-9285
  • Email: [email protected]
  • Cari
Logo
  • Home
  • Tentang Kami
    • Visi, Misi, dan Tujuan
    • Pimpinan Program Studi
    • Struktur Organisasi
    • Tracer Study Alumni
  • Gallery
    • Gallery Foto
    • Gallery Video
  • Akademik
    • Kurikulum
    • Rencana Pembelajaran Semester (RPS)
    • Program Learning Outcome
    • Jadwal Kuliah
    • Jadwal Ujian
    • Kalender Akademik
    • Pedoman Akademik
  • Informasi
    • Berita
    • Agenda
    • Pengumuman
    • Download
  • Dosen & Staff
  • Publikasi

Kepemimpinan Yang Egois Dalam Organisasi

  • Home
  • Informasi
  • Berita
  • Detail
Thumb
  • 11 November 2025
  • Mahasiswa

Kepemimpinan Yang Egois Dalam Organisasi

Kepemimpinan yang Egois dalam Organisasi

(Oleh: Anisah Ilmi)

 

Dalam konteks organisasi, kepemimpinan ideal seharusnya menjadi kekuatan moral dan inspiratif yang mampu menggerakkan seluruh anggota menuju tujuan bersama. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai teladan yang memancarkan nilai-nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Ia menempatkan kepentingan organisasi dan anggotanya di atas kepentingan pribadi. Dalam konsep manajemen modern, kepemimpinan yang efektif mencerminkan keseimbangan antara otoritas dan pelayanan — pemimpin bukan penguasa, melainkan pelayan bagi timnya. Sosok seperti ini mampu menciptakan iklim kerja yang sehat, di mana setiap anggota merasa dihargai, didengarkan, dan diberi ruang untuk berkontribusi.

Kepemimpinan yang ideal juga ditandai dengan kemampuan berkomunikasi terbuka, berpikir strategis, dan memiliki visi jangka panjang. Pemimpin yang demikian tidak mudah terjebak dalam ego pribadi atau haus kekuasaan, melainkan menjadikan tanggung jawabnya sebagai amanah. Ia memahami bahwa keberhasilan organisasi bukan hasil kerja individu, tetapi buah dari kolaborasi kolektif. Dalam situasi sulit, pemimpin yang ideal mampu menenangkan timnya, bukan menambah kegaduhan. Ia mengakui kesalahan ketika salah, memberi pujian ketika anggota berprestasi, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kepentingan bersama. Sosok ini memahami bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling bisa dipercaya.

Sayangnya, tidak semua pemimpin memiliki karakter demikian. Dalam banyak organisasi, baik di lembaga pendidikan, pemerintahan, maupun komunitas mahasiswa, masih sering dijumpai praktik kepemimpinan yang egois. Pemimpin seperti ini lebih fokus pada pencitraan diri, mempertahankan posisi, dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Ia cenderung menolak kritik, menutup ruang dialog, dan (memonopoli) keputusan tanpa mempertimbangkan masukan anggota. Dalam situasi demikian, organisasi menjadi kaku, penuh tekanan, dan kehilangan semangat kebersamaan. Banyak anggota akhirnya bersikap pasif karena merasa suaranya tidak lagi berarti. Kepemimpinan yang semestinya mempersatukan, justru menjadi sumber perpecahan.

Kepemimpinan yang egois membawa dampak serius terhadap dinamika organisasi. Ketika pemimpin lebih mementingkan gengsi daripada tanggung jawab, maka semangat kebersamaan akan menurun drastis. Anggota merasa tidak dihargai, ide-ide kreatif diabaikan, dan komunikasi menjadi satu arah — dari atas ke bawah. Akibatnya, produktivitas menurun, konflik internal meningkat, dan tujuan organisasi tidak tercapai secara optimal. Dalam konteks organisasi mahasiswa misalnya, pemimpin yang egois bisa mengubah lembaga yang semula idealis menjadi ajang perebutan pengaruh dan popularitas. Tidak jarang, keputusan diambil bukan atas dasar musyawarah, melainkan berdasarkan siapa yang dekat dengan kekuasaan.

Kita dapat melihat contohnya dalam berbagai kasus nyata. Misalnya, dalam suatu organisasi kampus, ketua yang baru terpilih menggunakan jabatannya untuk menonjolkan nama pribadi di media sosial, sementara kinerja tim diabaikan. Program kerja tidak berjalan karena semua keputusan harus melalui dirinya, bahkan untuk hal-hal kecil. Ketika ada anggota yang mengkritik, mereka justru disingkirkan atau dianggap tidak loyal. Akibatnya, suasana organisasi menjadi tidak nyaman, penuh kecurigaan, dan kehilangan arah. Fenomena seperti ini juga sering terjadi di tingkat lembaga publik atau perusahaan, di mana pemimpin yang terlalu egosentris menghambat inovasi karena takut posisinya tergeser oleh bawahan yang lebih kompeten. Kepemimpinan semacam ini pada akhirnya menimbulkan stagnasi dan penurunan kepercayaan publik.

Untuk mengatasi masalah kepemimpinan yang egois, diperlukan perubahan paradigma menuju kepemimpinan partisipatif dan kolaboratif. Pemimpin harus belajar untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara. Ia perlu membuka ruang dialog agar semua anggota dapat berkontribusi secara aktif. Proses pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan secara musyawarah, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Selain itu, penting bagi organisasi untuk menanamkan budaya evaluasi yang sehat — di mana kritik bukan dianggap ancaman, tetapi sarana perbaikan. Seorang pemimpin sejati berani dikritik, karena ia tahu kritik adalah tanda kepedulian. Kepemimpinan partisipatif mendorong rasa memiliki dalam diri anggota, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas dan kinerja tim.

Solusi lain yang tak kalah penting adalah penguatan etika dan moral kepemimpinan. Setiap pemimpin perlu dibekali nilai-nilai integritas, keikhlasan, dan kesadaran spiritual bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat kekuasaan. Pelatihan kepemimpinan sebaiknya tidak hanya menekankan pada kemampuan manajerial, tetapi juga pada pembentukan karakter dan empati sosial. Organisasi pun harus menciptakan sistem yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan agar perilaku egois dapat diminimalisir. Misalnya, dengan memperjelas mekanisme laporan pertanggungjawaban, rotasi jabatan, dan pengawasan oleh anggota. Dengan demikian, kekuasaan tidak menjadi alat dominasi, melainkan sarana untuk mengabdi dan memberdayakan.

Kritik utama terhadap fenomena kepemimpinan egois adalah bahwa ia mencerminkan kegagalan memahami hakikat kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang menjadikan organisasi sebagai panggung ego pada dasarnya sedang menghancurkan kepercayaan yang menjadi fondasi utama kerja kolektif. Oleh karena itu, setiap individu yang menduduki posisi kepemimpinan perlu melakukan refleksi diri secara berkala: apakah keputusan yang diambil sudah adil? Apakah kepentingan anggota sudah diutamakan? Apakah dirinya masih terbuka terhadap masukan? Kepemimpinan yang sejati lahir dari kerendahan hati, bukan ambisi pribadi. Organisasi hanya akan tumbuh jika pemimpinnya mampu memimpin dengan hati, bukan dengan ego. Dengan mengembalikan makna kepemimpinan pada nilai moral dan kebersamaan, organisasi dapat kembali berfungsi sebagai ruang belajar, berjuang, dan mengabdi bagi kepentingan bersama.

Share To :

Sistem Informasi

Berita Terbaru

  • Thumb
    Keresahan Masyarakat Karena Kelangkaan Pertalite
    11 November 2025
  • Thumb
    Keresahan Atas Kemacetan di Pasar Baru dan Harapan Penataannya
    11 November 2025
  • Thumb
    Kepemimpinan Yang Egois Dalam Organisasi
    11 November 2025
  • Thumb
    Opini Keresahan Tentang Orang Yang Merokok Sembarangan
    11 November 2025
  • Thumb
    2025 Udah Nggak Zaman Body Shaming
    11 November 2025

Agenda Terbaru

Kategori Berita

  • Kampus
  • Dikti
  • Jurnal
  • Kegiatan Prodi KPI
  • Askopis
  • Mahasiswa
  • Home
  • Informasi
  • Berita

Kepemimpinan Yang Egois Dalam Organisasi

Kategori : Mahasiswa
Tanggal : 11 November 2025
Dibaca : 11 Kali

Kepemimpinan yang Egois dalam Organisasi

(Oleh: Anisah Ilmi)

 

Dalam konteks organisasi, kepemimpinan ideal seharusnya menjadi kekuatan moral dan inspiratif yang mampu menggerakkan seluruh anggota menuju tujuan bersama. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya berperan sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai teladan yang memancarkan nilai-nilai kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Ia menempatkan kepentingan organisasi dan anggotanya di atas kepentingan pribadi. Dalam konsep manajemen modern, kepemimpinan yang efektif mencerminkan keseimbangan antara otoritas dan pelayanan — pemimpin bukan penguasa, melainkan pelayan bagi timnya. Sosok seperti ini mampu menciptakan iklim kerja yang sehat, di mana setiap anggota merasa dihargai, didengarkan, dan diberi ruang untuk berkontribusi.

Kepemimpinan yang ideal juga ditandai dengan kemampuan berkomunikasi terbuka, berpikir strategis, dan memiliki visi jangka panjang. Pemimpin yang demikian tidak mudah terjebak dalam ego pribadi atau haus kekuasaan, melainkan menjadikan tanggung jawabnya sebagai amanah. Ia memahami bahwa keberhasilan organisasi bukan hasil kerja individu, tetapi buah dari kolaborasi kolektif. Dalam situasi sulit, pemimpin yang ideal mampu menenangkan timnya, bukan menambah kegaduhan. Ia mengakui kesalahan ketika salah, memberi pujian ketika anggota berprestasi, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan kepentingan bersama. Sosok ini memahami bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling bisa dipercaya.

Sayangnya, tidak semua pemimpin memiliki karakter demikian. Dalam banyak organisasi, baik di lembaga pendidikan, pemerintahan, maupun komunitas mahasiswa, masih sering dijumpai praktik kepemimpinan yang egois. Pemimpin seperti ini lebih fokus pada pencitraan diri, mempertahankan posisi, dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Ia cenderung menolak kritik, menutup ruang dialog, dan (memonopoli) keputusan tanpa mempertimbangkan masukan anggota. Dalam situasi demikian, organisasi menjadi kaku, penuh tekanan, dan kehilangan semangat kebersamaan. Banyak anggota akhirnya bersikap pasif karena merasa suaranya tidak lagi berarti. Kepemimpinan yang semestinya mempersatukan, justru menjadi sumber perpecahan.

Kepemimpinan yang egois membawa dampak serius terhadap dinamika organisasi. Ketika pemimpin lebih mementingkan gengsi daripada tanggung jawab, maka semangat kebersamaan akan menurun drastis. Anggota merasa tidak dihargai, ide-ide kreatif diabaikan, dan komunikasi menjadi satu arah — dari atas ke bawah. Akibatnya, produktivitas menurun, konflik internal meningkat, dan tujuan organisasi tidak tercapai secara optimal. Dalam konteks organisasi mahasiswa misalnya, pemimpin yang egois bisa mengubah lembaga yang semula idealis menjadi ajang perebutan pengaruh dan popularitas. Tidak jarang, keputusan diambil bukan atas dasar musyawarah, melainkan berdasarkan siapa yang dekat dengan kekuasaan.

Kita dapat melihat contohnya dalam berbagai kasus nyata. Misalnya, dalam suatu organisasi kampus, ketua yang baru terpilih menggunakan jabatannya untuk menonjolkan nama pribadi di media sosial, sementara kinerja tim diabaikan. Program kerja tidak berjalan karena semua keputusan harus melalui dirinya, bahkan untuk hal-hal kecil. Ketika ada anggota yang mengkritik, mereka justru disingkirkan atau dianggap tidak loyal. Akibatnya, suasana organisasi menjadi tidak nyaman, penuh kecurigaan, dan kehilangan arah. Fenomena seperti ini juga sering terjadi di tingkat lembaga publik atau perusahaan, di mana pemimpin yang terlalu egosentris menghambat inovasi karena takut posisinya tergeser oleh bawahan yang lebih kompeten. Kepemimpinan semacam ini pada akhirnya menimbulkan stagnasi dan penurunan kepercayaan publik.

Untuk mengatasi masalah kepemimpinan yang egois, diperlukan perubahan paradigma menuju kepemimpinan partisipatif dan kolaboratif. Pemimpin harus belajar untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara. Ia perlu membuka ruang dialog agar semua anggota dapat berkontribusi secara aktif. Proses pengambilan keputusan sebaiknya dilakukan secara musyawarah, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Selain itu, penting bagi organisasi untuk menanamkan budaya evaluasi yang sehat — di mana kritik bukan dianggap ancaman, tetapi sarana perbaikan. Seorang pemimpin sejati berani dikritik, karena ia tahu kritik adalah tanda kepedulian. Kepemimpinan partisipatif mendorong rasa memiliki dalam diri anggota, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas dan kinerja tim.

Solusi lain yang tak kalah penting adalah penguatan etika dan moral kepemimpinan. Setiap pemimpin perlu dibekali nilai-nilai integritas, keikhlasan, dan kesadaran spiritual bahwa jabatan adalah amanah, bukan alat kekuasaan. Pelatihan kepemimpinan sebaiknya tidak hanya menekankan pada kemampuan manajerial, tetapi juga pada pembentukan karakter dan empati sosial. Organisasi pun harus menciptakan sistem yang transparan dan dapat dipertanggung jawabkan agar perilaku egois dapat diminimalisir. Misalnya, dengan memperjelas mekanisme laporan pertanggungjawaban, rotasi jabatan, dan pengawasan oleh anggota. Dengan demikian, kekuasaan tidak menjadi alat dominasi, melainkan sarana untuk mengabdi dan memberdayakan.

Kritik utama terhadap fenomena kepemimpinan egois adalah bahwa ia mencerminkan kegagalan memahami hakikat kepemimpinan itu sendiri. Pemimpin yang menjadikan organisasi sebagai panggung ego pada dasarnya sedang menghancurkan kepercayaan yang menjadi fondasi utama kerja kolektif. Oleh karena itu, setiap individu yang menduduki posisi kepemimpinan perlu melakukan refleksi diri secara berkala: apakah keputusan yang diambil sudah adil? Apakah kepentingan anggota sudah diutamakan? Apakah dirinya masih terbuka terhadap masukan? Kepemimpinan yang sejati lahir dari kerendahan hati, bukan ambisi pribadi. Organisasi hanya akan tumbuh jika pemimpinnya mampu memimpin dengan hati, bukan dengan ego. Dengan mengembalikan makna kepemimpinan pada nilai moral dan kebersamaan, organisasi dapat kembali berfungsi sebagai ruang belajar, berjuang, dan mengabdi bagi kepentingan bersama.

Sistem Informasi

Berita Terbaru

  • Thumb
    Keresahan Masyarakat Karena Kelangkaan Pertalite
    11 November 2025
  • Thumb
    Keresahan Atas Kemacetan di Pasar Baru dan Harapan Penataannya
    11 November 2025
  • Thumb
    Kepemimpinan Yang Egois Dalam Organisasi
    11 November 2025
  • Thumb
    Opini Keresahan Tentang Orang Yang Merokok Sembarangan
    11 November 2025
  • Thumb
    2025 Udah Nggak Zaman Body Shaming
    11 November 2025

Agenda Terbaru

Kategori Berita

  • Kampus
  • Dikti
  • Jurnal
  • Kegiatan Prodi KPI
  • Askopis
  • Mahasiswa

© 2021 KPI STAIN MADINA