Kunjungi Masjid Raya Medan, Mahasiswa KPI STAIN Madina Perkuat Iman dan Wawasan Sejarah
- Kategori : Kegiatan Prodi KPI
- Dibaca : 14 Kali
Medan, 18 April 2025 — Langit Kota Medan bersinar cerah ketika rombongan mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) STAIN Mandailing Natal tiba di Masjid Raya Al-Mashun. Dalam balutan semangat yang menyala, para mahasiswa menapaki halaman masjid yang megah, tidak hanya untuk menunaikan ibadah Jumat, tetapi juga untuk menggali sejarah Islam yang tertanam kokoh di dalamnya.
Kunjungan ke Masjid Raya Al-Mashun merupakan salah satu agenda penting dalam rangkaian kegiatan study tour yang diselenggarakan oleh Prodi KPI STAIN Madina di Kota Medan. Dengan mengusung semangat belajar lintas ruang, mahasiswa diajak untuk menghayati nilai-nilai keislaman dari jejak-jejak sejarah yang masih hidup hingga kini. Masjid Raya, sebagai simbol kejayaan Kesultanan Deli dan pusat spiritual masyarakat Medan, menjadi tempat yang tepat untuk mempertemukan dimensi ibadah, sejarah, dan pembelajaran kultural.
Masjid yang dibangun pada awal abad ke-20 ini langsung memikat perhatian mahasiswa. Arsitekturnya yang khas—menggabungkan gaya Timur Tengah, India, dan Eropa—menjadi saksi bisu kemajuan peradaban Islam lokal. Di balik dinding-dindingnya yang megah, tersimpan kisah dakwah, perjuangan sultan, dan penyebaran nilai-nilai Islam melalui jalur budaya dan pendidikan. Mahasiswa dengan penuh rasa ingin tahu mengamati setiap detail masjid, mulai dari mihrab, mimbar, ukiran kayu, hingga lampu gantung yang menjadi bagian dari estetika masa lalu.
Sebelum pelaksanaan Salat Jumat, mahasiswa mendapatkan penjelasan singkat dari pengelola masjid tentang sejarah pendirian Masjid Raya Al-Mashun. Mereka diajak untuk memahami bagaimana peran masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan dan pertemuan masyarakat Muslim sejak masa Kesultanan Deli. Pengelola juga menyampaikan bahwa masjid ini didesain oleh arsitek asal Belanda, Van Erp, dan dibangun pada tahun 1906 oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alam.
“Menjadi pengalaman spiritual dan akademik yang luar biasa. Kami bukan hanya melaksanakan Salat Jumat, tetapi juga belajar langsung dari sejarah tempat ini. Ini memberi kesadaran bahwa dakwah tidak hanya disampaikan lewat mimbar, tetapi juga lewat warisan budaya dan bangunan yang sarat nilai,” ungkap Adam, mahasiswa semester 2 yang turut serta dalam kunjungan tersebut.
Salat Jumat di masjid bersejarah ini menjadi momen reflektif tersendiri. Suasana khidmat menyelimuti ruang utama masjid yang dipenuhi jamaah dari berbagai kalangan. Para mahasiswa menyatu dalam barisan, mendengarkan khutbah yang sarat pesan moral dan kebangsaan, serta menunaikan ibadah dengan khusyuk. Ibadah yang dijalani di tempat yang sarat makna ini memberikan kesan mendalam—mereka seolah menyambung napas panjang sejarah Islam di Sumatera Utara.
Ahmad Salman Farid, M.Sos., dosen pendamping dalam kegiatan ini, menjelaskan bahwa kunjungan ke Masjid Raya merupakan bagian penting dari pembelajaran kontekstual berbasis nilai. “Kami ingin mahasiswa tidak hanya belajar teori dakwah dan komunikasi di kelas. Ketika mereka datang ke tempat seperti ini, mereka menyerap nilai-nilai keislaman dalam wujud yang nyata—baik secara visual, spiritual, maupun historis. Ini adalah bentuk integrasi antara iman, ilmu, dan budaya,” jelasnya.
Ketua Program Studi KPI, Dr. Marlina, MA., juga menekankan bahwa pengalaman seperti ini sangat penting untuk membentuk karakter mahasiswa. Menurutnya, pendidikan komunikasi Islam harus bersentuhan langsung dengan nilai-nilai lokal dan warisan sejarah agar mahasiswa memiliki pijakan kuat dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah yang kontekstual dan membumi. “Kita ingin mencetak komunikator Muslim yang bukan hanya fasih berbicara, tapi juga memahami konteks sosial-budaya di mana mereka berdakwah. Dan tempat-tempat seperti Masjid Raya adalah laboratorium sejarah yang luar biasa,” ucapnya.
Melalui kunjungan ini, mahasiswa KPI STAIN Madina tidak hanya memperluas wawasan sejarah, tetapi juga memperdalam relasi spiritual mereka dengan Islam. Mereka belajar bahwa masjid bukan hanya bangunan untuk ibadah, tetapi juga episentrum kehidupan umat—tempat belajar, berinteraksi, dan memperkuat identitas keislaman yang inklusif dan berakar pada nilai-nilai lokal.
Di akhir kegiatan, para mahasiswa mengabadikan momen dengan berfoto di halaman masjid, namun lebih dari itu, mereka membawa pulang pelajaran yang tak ternilai: bahwa iman dan ilmu adalah dua sisi mata uang yang harus berjalan seiring dalam membangun peradaban. Dan di Masjid Raya Medan, keduanya bersatu dalam suasana yang penuh keberkahan.