Dilema Fakultas Dakwah Antara Tradisi Islam vs Tuntutan Pasar
- Kategori : Askopis
- Dibaca : 82 Kali
Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) seharusnya tidak dilihat sebagai lembaga yang kehilangan jati diri hanya karena tidak memiliki program studi khusus Dakwah. Sebaliknya, diversifikasi program studi seperti Manajemen Dakwah, Bimbingan Penyuluhan Islam, dan Komunikasi Penyiaran Islam mencerminkan kebutuhan akan pendekatan dakwah yang lebih kontekstual, dinamis, dan relevan dengan tantangan masyarakat modern.
Pandangan bahwa program studi seperti Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) hanya berorientasi pada komunikasi konvensional adalah penyederhanaan yang kurang tepat. KPI tidak hanya menyampaikan pesan komunikasi, tetapi juga merancang strategi dakwah yang efektif di era digital. Dalam dunia yang semakin kompleks, dakwah tidak hanya berorientasi pada ceramah agama, tetapi juga menyentuh berbagai aspek sosial, budaya, dan teknologi.
Penting untuk disadari bahwa dakwah yang efektif membutuhkan pendekatan lintas disiplin. Gelar seperti S.Sos pada lulusan FDK bukanlah indikasi hilangnya fokus pada nilai-nilai agama, tetapi justru menegaskan penguasaan keterampilan sosial yang diperlukan untuk dakwah dalam konteks modern. Pengintegrasian ilmu sosial dengan nilai-nilai Islam memungkinkan lulusan FDK untuk menjadi dai yang tidak hanya menguasai ajaran agama, tetapi juga memahami audiens dan konteks sosial mereka.
Argumen bahwa KPI tidak memiliki keterkaitan langsung dengan dakwah Islam perlu dilihat dari perspektif yang lebih luas. KPI memberikan bekal bagi mahasiswa untuk menguasai media, teknologi, dan komunikasi strategis yang menjadi instrumen utama dalam menyampaikan pesan dakwah ke berbagai lapisan masyarakat. Dakwah tidak lagi hanya dilakukan di mimbar, tetapi juga melalui konten digital, media sosial, dan kampanye komunikasi yang dirancang untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Jika KPI dianggap hanya “membumbui” komunikasi dengan nilai-nilai Islam, hal ini justru menunjukkan fleksibilitas pendekatan dakwah dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat global. Islam sebagai nilai dasar tetap menjadi landasan utama, tetapi metode penyampaiannya harus adaptif terhadap perkembangan zaman.
Pandangan bahwa dakwah memerlukan kompetensi formal dalam bentuk program studi khusus perlu diimbangi dengan pemahaman bahwa profesi dai tidak selalu harus ditempuh melalui jalur akademik formal. Sertifikasi dai, misalnya, bisa menjadi salah satu cara untuk mengukur kompetensi, tetapi bukan satu-satunya solusi. Profesionalisme dalam dakwah tidak hanya ditentukan oleh gelar akademis, tetapi juga oleh pengalaman, keterampilan, dan kemampuan untuk memahami serta menjawab kebutuhan umat.
Daripada memandang Fakultas Dakwah sebagai kehilangan arah tanpa program studi khusus Dakwah, kita harus melihatnya sebagai upaya untuk memodernisasi dakwah melalui pendekatan lintas disiplin. KPI dan program studi lain di FDK telah memberikan landasan yang relevan bagi para lulusan untuk menjadi dai yang adaptif, kreatif, dan profesional.
Fokus pada inovasi kurikulum, pengembangan kompetensi dosen, dan penguatan sinergi dengan lembaga dakwah akan memastikan bahwa FDK tetap menjadi pusat pengembangan dakwah yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dengan demikian, Fakultas Dakwah tidak hanya melahirkan dai, tetapi juga pemimpin, inovator, dan komunikator yang mampu membawa pesan Islam ke tingkat global.
Walaupun demikian, menganggap bahwa dakwah harus berada dalam ruang eksklusif program studi khusus justru bertentangan dengan esensi dakwah itu sendiri, yaitu merangkul keberagaman dan menyampaikan nilai-nilai Islam ke berbagai konteks kehidupan. Apakah dakwah akan tetap relevan jika hanya berpusat pada metode konvensional yang bersifat seragam? Dunia saat ini memerlukan pendekatan dakwah yang lebih beragam, menggunakan media modern, pendekatan psikologis, dan strategi komunikasi lintas budaya. Mengabaikan potensi program studi seperti KPI atau Manajemen Dakwah sama saja dengan menutup mata terhadap kenyataan bahwa masyarakat modern mengonsumsi informasi secara berbeda, melalui media digital, visual, dan platform interaktif.
Jika dakwah hanya dipersempit pada bidang agama semata tanpa mengintegrasikan elemen sosial, budaya, dan teknologi, maka kita sebenarnya sedang menjauhkan dakwah dari kehidupan umat sehari-hari. Apakah fakultas dakwah akan bertahan jika hanya berfokus pada tradisi lama dan gagal membaca arah zaman? Dakwah hari ini bukan lagi tentang sekadar mengutip ayat di atas mimbar, tetapi tentang menjawab persoalan global seperti perubahan sosial, ketimpangan ekonomi, atau bahkan tantangan teknologi. Dengan kata lain, fakultas dakwah yang tidak memiliki prodi dakwah sesungguhnya sedang menciptakan ruang dakwah baru yang lebih progresif, fleksibel, dan inklusif untuk menjawab kebutuhan umat dalam kompleksitas dunia modern.
*Ahmad Salman Farid, M.Sos. (Dosen KPI STAIN Mandailing Natal)